Moneter.id -Jakarta - Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6% pada Rapat Dewan Gubernur yang diumumkan pada 19 Oktober 2023. Keputusan ini didasari lima alasan, yakni laju pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi melambat; eskalasi konflik antara Israel-Palestina, arah kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed), yang diproyeksi tetap tinggi dalam waktu relatif lama; tingkat imbal hasil obligasi aset negara maju yang meningkat; dan aliran modal asing keluar dari pasar keuangan.
“Saat ini, kenaikan suku bunga acuan dari Bank Indonesia belum berpengaruh terhadap tren yang tercatat pada platform kami. Namun, mengingat sebagian besar pembelian properti oleh masyarakat cenderung menggunakan cara bayar Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), maka ini perlu menjadi perhatian semua stakeholder untuk memastikan geliat permintaan masyarakat akan properti tetap stabil.” kata Senior Vice President (SVP) Marketing 99 Group Indonesia, Bharat Buxani yang dikutip moneter.id, Jumat (1/12/2023).
Kenaikan suku bunga membawa sejumlah dampak yang perlu ditangani bersama. Apabila perbankan di Indonesia meningkatkan suku bunga KPR, ini akan memengaruhi permintaan karena biaya pembelian dan cicilan properti cenderung lebih tinggi. Bagi pengembang, naiknya suku bunga pinjaman dari bank akan meningkatkan biaya pengembangan dan memengaruhi harga rumah.
Data historis pergerakan suku bunga acuan dan pertumbuhan KPR/KPA dari Bank Indonesia yang diolah 99 Group memperlihatkan adanya korelasi satu sama lain. Dimana kecenderungannya terdapat lonjakan pertumbuhan pemberian KPR/KPA secara year-on-year (YoY) pada saat suku bunga acuan turun.
Pada tahun 2012, ketika suku bunga acuan turun dari 6,75% pada September 2011 menjadi 5,75% di tahun 2012, pertumbuhan KPA/KPR secara year-on-year melonjak dengan capaian tertinggi di bulan Juni (42,1%) dan Juli (44,1%).
Memasuki tahun 2013-2014, saat suku bunga acuan melonjak, pertumbuhan YoY pinjaman KPA/KPR berangsur menurun. Saat itu juga terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan melemahnya nilai tukar rupiah atas dolar AS akibat Taper Tantrum yang disebabkan penghentian quantitative easing oleh The Fed.
Sampai tahun 2015, pertumbuhan pinjaman terus berada di bawah level tahun 2011-2012, di kisaran 7,2%-12,9%. Setelahnya, pertumbuhan YoY pinjaman cenderung berada di level satu digit, dibandingkan tahun 2010-2014 yang berada di level dua digit. Saat pemerintah kembali menurunkan suku bunga acuan di tahun 2017 ke +4%, perlahan pertumbuhan pinjaman meningkat kembali pada level dua digit.
Peningkatan terlihat sejak pertengahan tahun 2017 hingga pertengahan 2018 di kisaran 10,3%-13,9% sebelum akhirnya kembali mengalami penurunan ketika suku bunga acuan naik. Di periode pertengahan 2018-2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dan perang dagang antara China dan AS terjadi.
Selain itu, gejolak politik pada Pilpres 2019 sempat memicu ketidakpastian ekonomi yang membuat investor cenderung wait and see terhadap pasar Indonesia. Pada tahun 2020, pertumbuhan jumlah KPR/KPA sempat merosot tajam akibat Pandemi Covid-19.
Memasuki periode tahun 2021-2022, saat kondisi ekonomi berangsur pulih, suku bunga berada di level +3% sejak November 2020 dan terus tertahan hingga Agustus 2022, pertumbuhan pinjaman kembali ke level dua digit pada bulan Juli 2022 hingga Agustus 2023, di kisaran 11,6%-20,8%. Namun sejak Agustus 2022, BI tercatat terus menaikkan suku bunga acuan karena inflasi yang melonjak dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS.
“Saat ini tren pertumbuhan pinjaman masih tercatat baik. Namun, kalau berkaca pada tren historis antara suku bunga acuan dan pertumbuhan pinjaman, terdapat jeda sekitar 6-12 bulan setelah suku bunga acuan melonjak, pertumbuhan pinjaman KPA/KPR cenderung melambat, sehingga tentunya ini perlu diantisipasi dalam beberapa bulan mendatang,” papar Bharat.
Berdasarkan catatan, sejak tahun 2020, tren historis yang tercatat terkait permintaan, suplai dan harga sangat dipengaruhi Pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya penurunan permintaan terhadap rumah tapak yang signifikan di April 2020, sebesar minus 27 persen.
Seiring pemulihan ekonomi dan kebijakan suku bunga acuan yang dipertahankan BI sekitar +3% selama tahun 2021 hingga pertengahan 2022, bersama dengan penerapan kebijakan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) 100% dan pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) permintaan properti pun mulai kembali pulih. Pada bulan Oktober 2023, pertumbuhan permintaan hunian yang meningkat sebesar 77,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada saat suku bunga mengalami kenaikan baru-baru ini, BI dan pemerintah juga menghadirkan sejumlah kebijakan dan insentif dalam menjaga geliat pasar properti, seperti perpanjangan kebijakan relaksasi rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti maksimal 100 persen, insentif PPN/DTP untuk setiap pembelian rumah dengan harga maksimal Rp5 miliar dan insentif tanggungan biaya administrasi pembelian rumah hingga Rp4 juta kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Apabila kebijakan dan insentif ini didukung dengan langkah strategis stakeholder terkait, seperti pengembang, perbankan, hingga marketplace properti dalam menghadirkan program-program yang memudahkan masyarakat, ditambah dengan iklim Pemilu 2024 yang kondusif, kami optimistis stabilitas pasar properti tetap bergeliat. 99 Group juga menghadirkan promo cashback Rp5 juta bagi masyarakat yang membeli & melakukan akad properti baru dengan logo Official Developer di laman properti baru Rumah123 sejak periode 20 Oktober silam sampai Februari 2024 mendatang,” ungkap dia.
“Masyarakat juga diharapkan lebih cermat dalam menyusun perencanaan keuangan untuk membeli properti, jeli dalam membandingkan berbagai program KPR bank, memanfaatkan insentif pemerintah hingga promo dari developer agar cicilan membeli hunian impian bisa tetap terjangkau. Bagi yang sedang menjalani cicilan KPR dan dirasa mulai berat karena bunga floating, bisa memanfaatkan program Pindah KPR, untuk mendapatkan suku bunga dan nilai cicilan yang lebih terjangkau,” pungkas Bharat.